Quantcast
Channel: tentang tobucil
Viewing all 26 articles
Browse latest View live

Kreativitas Warga, Hidup Kota

$
0
0
Minggu, 20 Desember 2009 | 02:31 WIB
Putu Fajar Arcana & Ninuk Mardiana Pambudy
Jalan Braga di tengah Kota Bandung sepanjang sekitar 1 kilometer pada Minggu (13/12) ditutup. Sekitar pukul 16.00, suasana jalan itu semakin meriah dan padat ketika iring-iringan pawai anggota delapan komunitas tiba dari Dago.

Sara (18) bersama teman-temannya dari komunitas seni pertunjukan Ganiati—Garing Mania Sampai Mati—berdandan lebay (berlebihan). Sara memakai pemulas bibir warna merah mencolok dengan pupur tebal. Temannya memakai rambut palsu warna-warni, berkacamata ekstra besar. Yang laki-laki bercelana stretch ketat, memperlihatkan tubuh ceking-langsing.

Kelompok Tatalu dari Universitas Pasundan memukul-mukul tong plastik bekas layaknya grup drumband. Lalu ada rombongan komunitas musik karinding yang memainkan alat dari bambu, komunitas fotografi, pencinta lingkungan, komunitas Graffiti Bike, dan benjang (gulat tradisional Sunda).

Iring-iringan pawai ini tidak terlalu panjang, kira-kira 100 meter, diikuti 300-an orang. Di Jalan Braga mereka bergabung dengan komunitas Bikers Brotherhood yang mengadakan Brotherhood Braga Bikefest. Menurut Reza Pamungkas, konsultan manajemen yang menjadi salah satu panitia Bikefest, ada 1.000 motor anggota Bikers Brotherhood hadir dalam acara itu.

Melintang di atas Braga pada ketinggian lebih dari 5 meter dipasang dua panggung dari besi-besi perancah dengan jarak satu dengan yang lain sekitar 100 meter. Di satu panggung musik rock terus-menerus dimainkan bergantian oleh band-band yang sebagian besar anggotanya juga anggota Bikers Brotherhood.

Di panggung terowongan satu lagi berlangsung peragaan busana yang kata Reza sebagian diproduksi oleh anggota Bikers. Maka, anggota Bikers, pengunjung, dan warga dari kampung-kampung sekitar tumpah ruah jadi satu di Jalan Braga.

Pamer
Arak-arakan itu menutup tiga bulan Helarfest—helar artinya pamer kebisaan—yang memamerkan potensi komunitas kreatif Kota Bandung, antara 17 Oktober dan 30 Desember.

”Tujuannya menunjukkan kepada publik kegiatan komunitas-komunitas ini. Biasanya tiap komunitas aktif di komunitasnya. Harapannya, masyarakat Bandung bisa melihat potensi kreatif warga kota, terinspirasi, lalu ketularan (kreatif),” kata Ridwan Kamil, Ketua Bandung Creative Community Forum (BCCF) yang mengorganisasi kegiatan.

Saat ini BCCF beranggotakan 30 komunitas dan secara legal berdiri Desember 2008. ”Pelegalan itu hanya untuk memudahkan dalam berhubungan dengan pihak luar. Selain itu, ekonomi kreatif juga berhubungan dengan HKI, hak kekayaan intelektual. Tanpa perlindungan HKI, kreativitas tidak tumbuh,” kata Rizky Adiwilaga SH, pengurus BCCF yang dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Dari target 60 kegiatan selama tiga bulan, terlaksana 66 kegiatan, sementara tahun lalu terlaksana 31 kegiatan selama 1,5 bulan. Sebagian besar biaya berasal dari komunitas anggota BCCF meski tahun ini menurut Wawan Djuanda, Presiden Republik Entertainment dan koordinator festival, pemerintah kota membantu Rp 500 juta dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberi Rp 500 juta.

Acara ini ditutup malam harinya dengan Festival Cikapundung, dihadiri Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf. ”Ini untuk menarik perhatian agar warga mulai memerhatikan kebersihan sungai mereka,” kata Wawan. Peserta karnaval lalu menghanyutkan perahu kertas yang diterangi cahaya lilin.

Komunitas
Kreativitas berbasis kultur urban di Kota Bandung dibangun berbagai komunitas di kota itu. Mereka berekspresi dan berkreasi mandiri dan informal melalui berbagai forum.

Tobucil (Toko Buku Kecil), Common Room, dan Rumah Buku, misalnya, menjadi tempat mereka bertemu, mengobrol, berencana, dan berekspresi. Itulah antara lain yang membuat Bandung terlihat selalu kreatif, dinamis, seperti tak pernah kekurangan ”peluru” menciptakan berbagai terobosan.
Rumah Buku—wujud fisiknya berupa rumah—didirikan Ariani Darmawan dan Oky Kusprianto di Jalan Hegarmanah tahun 2003. Ketika studi di Chicago, Amerika Serikat (1999-2001), Ariani melihat akses publik terhadap informasi sangat terfasilitasi. ”Di mana-mana ada perpustakaan kota, banyak toko buku, CD musik, dan penyewaan film,” tutur Ariani.

Sepulang studi, ia menggandeng Oky mendirikan Rumah Buku yang dikonsep sebagai pusat referensi alternatif. Di Rumah Buku pengunjung bisa menyewa atau membaca buku alternatif yang belum tentu ada di perpustakaan lain. ”Kami ingin menghilangkan kesan pergi ke perpustakaan sangat formal dan sulit meminjam buku,” kata Ariani.

Saat ini Rumah Buku beranggotakan 1.179 orang dengan koleksi 4.000 buku, 1.000 CD, dan 1.000 film. Di situ juga terdapat klub kreativitas film Kineruku. Selain tiap minggu memutar film yang tidak beredar melalui gedung bioskop, Kineruku juga memproduksi film-film pendek. ”Kineru juga bikin workshop film, mengundang pegiat film. Riri Riza misalnya,” kata Ariani.
Common Room di Jalan Kyai Gede Utama, kata fasilitator jejaring Common Room, Gustaff Iskandar, selain tempat berkumpul anak muda, juga menyediakan ruang pentas dan pameran karya puluhan komunitas berbagai bidang yang bergabung di situ.

”Ini ruang fasilitator yang terbuka terhadap seni, budaya, dan teknologi,” kata Gustaff. ”Umumnya anak muda. Dari yang suka musik underground, komik, peneliti budaya oral, sampai penggali budaya lokal,” kata Gustaff.

Dana kegiatan Common Room sebagian berasal dari donor, antara lain HIVOS dan Japan Foundation. ”Kami baru mengadakan pameran kujang gagasan komunitas Sunda Underground dan kini mendorong penelitian budaya oral orang Sunda oleh komunitas Open Lab,” kata Gustaff.

Helarfest hanya sarana pamer potensi kreatif Bandung, tetapi bagaimana potensi itu menjadi lokomotif kota yang membuat warga sejahtera dan hidup nyaman, jejaring itu harus dipelihara, diperluas, diperkuat, termasuk dengan pemda dan lembaga legislatif.

Tulisan ini dipublikasikan ulang dari Kompas Cetak, 20 Desember 2009

Connected by the threads

$
0
0
Tifa Asrianti, The Jakarta Post, Jakarta | Sun, 05/23/2010 12:17 PM | Art and Design
 
Knitting enthusiasts display their works at a recent gathering in Bogor.: JP/Tifa AsriantiKnitting enthusiasts display their works at a recent gathering in Bogor.: JP/Tifa Asrianti
Once considered as a pastime for women and senior citizens, today knitting is enjoyed by a broader generation as the young, old, men and women share a common interest in knitting the threads together.
This is true at least for a Bogor-based knitting group in which its members have different backgrounds. They also have different stories to tell on how they fell in love in knitting.
Anneke, 82, and Els, 68, the group’s senior members, recalled they had learned how to knit while they were at elementary school. Both Anneke and Els enrolled at Dutch schools during the colonial years.
Ari Asih, another member, said that her interest in knitting started when she joined the girl scouts where she learned how to make simple knots. She later applied the knots to create hair fascinators.
“When my aunt came from Medan, she taught me to make the chain stitch. Since then, I’ve been learning knitting by myself,” Ari said.
Many of those who love to do knitting find it has unexpected advantages. For example Anneke says it helps her to combat memory loss. “My mother told me to always have something to do. Later, I chose to knit. Knitting helps me to stay alert because I have to count the number of stitches,” she said.
While Els voiced similar opinions, other members of the group had different reasons for liking knitting.
For Lilie Yung, knitting is an activity in her free time that keeps boredom away. Fonny, another member, said she makes new friends through knitting. Meanwhile, Ari and Ucce get financial benefits from their hobby.
There have been some requests for Ari to make knitted products. Ucce meanwhile has opened a knitting course.
Adi Marsiela (right) shows a woman how to do yubiami (finger knitting) during an event in Bandung: www.themanwhoknit.blogspot.comAdi Marsiela (right) shows a woman how to do yubiami (finger knitting) during an event in Bandung: www.themanwhoknit.blogspot.com
A group member might try and sell a woolen hat for Rp 120,000. “People might say it’s expensive, but when they try to make it themselves, they will know that the price is reasonable. Prices of knitting yarns start from Rp 7,500 to Rp 200,000. Every hand-made product is invaluable,” said Ari.
The women, who are also members of the mari merajut (lets get knitting) mailing list, meet at a cathedral for the weekly study session every Wednesday from 10 a.m. to 12 a.m. Another knitting group in Bogor meets at the Christ Church in Sukasari every Tuesday from 12 a.m. to 3 p.m.
Both groups have a monthly gathering in the second week of the month. The meetings are usually joined by other less active members from Bogor or Jakarta.
It seems that knitting goes beyond gender. It turns out that men are interested in doing this activity although it’s often associated with women. Erri Nugraha, 28, said that his encounter with knitting began in February last year when a friend asked him to design a book on knitting.
After finishing the project, the Bandung-based designer met with a knitting group which eventually made him take more interest in the craft.
“Knitting is not entirely a new thing for me because my mother taught me how to crochet with one needle when I was little. Now, I cannot only do crocheting, but I can also do knitting with two needles and do finger knitting [yubiami].”
In the beginning, he said, he was a bit embarrassed with his newfound hobby as knitting has always been associated with women’s activities.  But more and more men are joining in, he added.  He gained more confidence and even created a blog for men who knit. (www.themanwhoknit.blogspot.com ).
A sample of knitting work: JP/Tifa AsriantiA sample of knitting work: JP/Tifa Asrianti
Coming from various backgrounds, the knitting men usually meet at Tobucil, a bookstore in Bandung, West Java, on Sunday. Apart from doing knitting, the group also presents a tutorial video on knitting to attract more men to join the group.
We want to show other men that knitting is a fun and positive activity. There is no need to be ashamed of it said Erri, who makes knitted bags, scarves and sweaters.
“I have been carrying the yarn and the needles for the past two months as I’m currently working on a bag — a birthday gift for a friend. If I’m at leisure, I can finish it in two or three days. Unfortunately, I am busy with other work,” he said.
He explained that it generates revenue even though it’s only a hobby. The autie of a friend paid him Rp 150,000 for a knitted vest.
“When I have designer’s block, I pull out the needles, start knitting and then ideas will flow. It’s like a form of meditation because you need to focus your concentration on it,” Erri said.
This work will be combined with other pieces from other places across the country into a huge kawung-patterned blanket. It is se: JP/Tifa AsriantiThis work will be combined with other pieces from other places across the country into a huge kawung-patterned blanket. It is se: JP/Tifa Asrianti
Ari had similar opinions and said that knitting required concentration and perseverance, not talent. “There are so many positive things about knitting that we want everyone to give it a try,” she said.
 Members of the knitting group will share their knowledge with the public at the Indonesia Knitting Festival, to be held between June 23 and July 11 at Mal Ciputra shopping center in West Jakarta. 
There will be workshops, fashion show, bazaar and knitting competition. The group will also try to create a record on creating the largest batik kawung-patterned blanket.


For more information on knitting groups:
mari_merajut@yahoogroups.com
www.themanwhoknit.blogspot.com

Crafty Days #4: Play Your Magic Fingers: Berkreasi dengan Tangan!

$
0
0
Di publikasikan ulang dari: Pikiran Rakyat, Selasa, 2 Juni 2010


Apakah kamu percaya akan keajaiban? Kalau pernah membaca buku karya Roald Dahl yang judulnya The Magic Finger, tentu kamu ingat akan kekuatan yang dimiliki seorang cewek. Yeps, si cewek ini punya jari ajaib yang bisa mengubah apa pun di dekatnya menjadi sesuai dengan keinginan si cewek tersebut. Saat gurunya memarahi si cewek yang disebut ’aku’, si aku ini lantas mengacungkan jari ajaibnya, seketika, sang guru pun berubah menjadi kucing.

Nah, kalau kamu punya kekuatan untuk mengubah sesuatu menjadi apa yang kamu inginkan, kira-kira apa ya, yang akan kamu ubah? Di gelaran Crafty Days #4, Sabtu-Minggu (29-30) Mei lalu, belia ngelihat banyak orang yang punya kemampuan untuk mengubah sesuatu menjadi benda yang berguna dan punya nilai jual tinggi. Lewat tulisan ini, belia ingin kamu yang enggak sempat datang ke event yang digelar oleh Tobucil ini, punya sedikit gambaran atau malah dapetin inspirasi untuk mulai memakai jemarimu!

Pernah kepikiran, apa aja yang bisa kamu lakukan dengan jemarimu? Hal-hal positif macam menulis, menggambar, membuat komik, memasak, membuat benda-benda kerajinan, atau hal lainnya, tentu dilakukan dengan tangan kamu. So, enggak salah kalau tema crafty days tahun ini adalah play your magic fingers. Banyak betul yang bisa kamu kreasikan melalui jari-jari kamu, seperti yang dibikin oleh Mbak Claudine dan teman-temannya.

Di booth-nya Mbak Claudine ini, belia nemuin berbagai kertas dan buku kecil yang telah disulap menjadi scrap book. Ha! Sudah pada tau kan, apa itu scrapbook? Scrapbook adalah seni menempel foto pada kertas, kemudian menghiasnya menjadi karya kreatif. Kalau diliat dari asal katanya, scrap=barang bekas/sisa, berarti kamu bisa memanfaatkan semua barang-barang sisa yang masih kelihatan bagus untuk dipakai membuat scrapbook.

"Ada juga sih yang menjual kertas-kertas hias untuk membuat scrapbook, tetapi rata-rata kertas tersebut masih termasuk barang impor, jadi harganya masih mahal," kata Mbak Claudine. Meskipun harganya rada mahal, biasanya satu lembar kertas hias khusus scrapbook itu bisa dipakai berkali-kali, enggak hanya satu kali pakai. "Kalau ngerasa sayang untuk beli kertas khusus scrapbook, bisa juga pakai kertas-kertas bekas, seperti bekas bungkus kado atau bekas brosur, flyers, bahkan majalah bekas yang lucu-lucu," ujarnya. Dengan sedikit usaha, kertas-kertas bekas itu bisa kamu sulap menjadi scrapbook yang keren.

Nah, di sinilah peran magic fingers kamu dan teman-teman kamu. Soalnya, Mbak Claudine juga menyarankan, supaya biaya produksi si scrapbook ini jatuhnya menjadi murah, kamu bisa menyiasatinya dengan mengerjakan bareng dengan temen-temen segeng atau malah sekelas! "Ini bisa jadi album foto yang bisa dikerjain bareng. Mumpung lagi liburan nih atau malah mau bikin scrapbook yang isinya foto tentang liburan bareng temen atau keluarga, bisa banget," katanya.

Emang sih, di Crafty Days kemarin, belia sempat melihat scrapbook yang udah jadi, kamu tinggal beli albumnya, dan menempel foto-foto milik kamu, tetapi bukankah nilainya akan bertambah jika kamu membuat scrapbooknya sendiri? Selain pasti lebih murah, mungkin kamu sudah membantu mengurangi sampah, bahkan mendaur ulangnya menjadi benda yang lebih bermanfaat. "Sejak keranjingan membuat scrapbook ini, saya jadi suka mengumpulkan sampah-sampah," katanya.

Selain scrapbook, yang menurut belia masih bisa kamu lakukan di rumah adalah membuat notebook! Kalau bosan dengan buku tulis untuk mencatat pelajaran, kamu bisa memakai notebook sebagai penggantinya. Di Crafty Days ini, ada notebook bikinannya Tarlen yang semuanya lucu-lucu! Dan, menurut Tarlen sih, notebooknya ini merupakan hasil karya tangannya sendiri. Tinggal pilah pilih bahan yang akan kamu pakai, motif kertasnya, notebook custom ala kamu pun jadi.

Bingung gimana cara membuat sebuah notebook? Ah, kalau kamu masih ingat, belia pernah ngasih tau langkah-langkah membuat notebook sederhana. Atau, kalau malas membongkar koleksi belia kamu, boleh juga klik ke http://bit.ly/bv3Fds atau ke http://www.cat-sidh.net/Tutorials/Binding.html.
"Harganya emang rada mahal kalo dibandingin dengan beli di toko stationery. Tetapi saya emang nyari yang beda aja, trus jauh lebih lucu notebook yang dijual di sini," ucap Tasya, cewek membeli beberapa notebook yang dijual di Crafty Days.

Scrapbook, notebook, hmm, apalagi ya yang kira-kira bisa kamu kerjakan di waktu luang atau liburan kamu? Ya, kamu bisa belajar merajut, membuat bros, korsase, bahkan memasak! Ini semua dilakukan oleh tangan dan jari kamu, kan? Merajut memang dibutuhkan keahlian khusus, tetapi bisa kamu pelajari. Di Tobucil ini, ada kok, kelas khusus untuk merajut untuk pemula. Siapa tau, kamu bisa jadi seperti Anne, yang menjual barang-barang hasil rajutannya, seperti korsase, bros, kalung, sampai baju, topi, dan syal -- tiga barang khas rajutan.

"Kegiatan ini tuh asalnya hanya untuk mengisi waktu luang, tetapi akhirnya malah keterusan. Soalnya bisa juga menghasilkan," kata Anne yang dibantu oleh teman-temannya dalam mengelola bisnis kecil mereka. Meski banyak yang masih merasa barang rajutan itu tergolong vintage, kalau kamu pintar dalam memilih desain dan warna, tentunya kesan vintage or kuno bisa dihilangkan. Lalu, ada beragam aksesori yang bisa kamu buat juga dengan tangan kamu! Gelang, kalung, dompet-dompet kecil, sampai boneka mini yang berasal dari kain flanel pun bisa jadi pilihan.

Banyak sekali yang bisa kamu kerjakan dengan si magic fingers. Tinggal bagaimana kamu memanfaatkan barang-barang yang ada di sekitar dengan minat atau kesukaan kamu. Selain bisa memanfaatkan waktu senggang, barang-barang bekas, kamu juga bisa dapetin uang, kalau produk handmade kamu disukai banyak orang. Seperti yang dibilang sama Arin, salah seorang pengisi booth Crafty Days. "Barang handmade lebih mahal karena dalam pengerjaannya pun lebih membutuhkan effort. Lalu, biasanya desainnya pun enggak banyak, bahkan ada yang hanya satu desain aja tiap barang," ucapnya.

Nah, tunggu apa lagi? mumpung sebentar lagi liburan, enggak ada salahnya mulai dari sekarang kamu mengumpulkan ide dan bahan-bahan untuk membuat sendiri kreasimu. Siapa tau, liburan nanti, kamu bisa jadi wirausahawan dengan barang-barang buatanmu! Ayo, play your magic fingers! ***
tisha_belia@yahoo.com
Penulis:

Kliping Crafty Days

$
0
0
Pikiran Rakyat, Minggu 30 Mei 2010

Suara Pembaruan, Senin 31 Mei 2010


 Suplemen Belia, Pikiran Rakyat, 1 Juni 2010. Liputannya ada di sini

Liburan Kreatif Bersama Crafty Kids

Merajut untuk 'Yarn Bombing' dan Kemanusiaan di Australia dan Indonesia

$
0
0

Merajut untuk 'Yarn Bombing' dan kemanusiaan di Australia dan Indonesia

Diperbaharui 1 March 2013, 14:42 AEST

Apabila anda mendengar kata “rajutan” atau “merajut” apa yang langsung terlintas di benak anda? Gambaran nenek yang sedang merajut? Baju hangat, rompi, taplak meja? Bagaimana dengan ini: kelompok seniman jalanan yang menyelimuti traktor, tank, dan fasilitas public dengan rajutan? Atau kelompok perajut yang membantu korban bencana alam?
Satu tren merajut yang sekarang mendunia dan berubah menjadi seni jalanan disebut yarn bombing. Yarn bombing, dikenal juga dengan sebutan yarn storming, atau graffiti knitting ini dipopulerkan pada tahun 2005 oleh Magda Sayeg, seorang perempuan asal Houston, Amerika Serikat.
Kegiatan ini bisa dilakukan hampir di mana saja, di benda apapun yang memungkinkan untuk dibungkus dengan rajutan, seperti pohon, tiang listrik, sepeda bahkan mobil.
Di Melbourne, Australia, kepopuleran yarn bombing juga sudah merajalela. Salah satu yarn bomber asal Melbourne bernama Bali adalah pendiri komunitas Yarn Corner di Melbourne. Dalam wawancaranya dengan reporter ABC Isabelle Genoux, Bali mengatakan bahwa komunitasnya berhasil menjaring banyak perhatian.
“Yarn Corner sekarang menjadi salah satu yarn bombing grup terbesar di dunia...kami memiliki 345 orang anggota”
 Beberapa proyek terbesar mereka adalah menutupi sebuah traktor dengan rajutan untuk Royal Melbourne Show, selain memberi warna-warni cerah di salah satu jalan utama pusat kota Melbourne, Swanston Street, dengan rajutan-rajutan yang menyelimuti pohon-pohon di jalan tersebut.
Pada awalnya, Bali, yang juga guru crochet, merasa tertantang untuk melakukan yarn bombing.
 “Saya memulai empat tahun lalu. Saya melihat dari situs online dan dari buku berjudul Yarn Bombing... Saya merasa tertantang dan mulai melakukan yarn bombing dan menginspirasi lebih banyak orang untuk merajut”
Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah ketenaran yarn bombing juga sudah merambah Indonesia? Tarlen Handayani, pemilik toko buku Tobucil di Bandung yang juga aktif di komunitas merajut, mengatakan bahwa di Indonesia yarn bombing belum menjadi sebuah tren. Hal ini ada hubungannya dengan kebiasaan warga Indonesia dengan keberadaan ruang publik.
“Kalau di Amerika, di Australia, orang punya kebiasaan keluar rumah, menikmati taman…kalau di sini, ikatan itu masih lemah. Seperti di Bandung, banyak taman tapi orang masih menggunakan taman sebatas tempat olahraga, itu pun hanya taman-taman tertentu.”
Yang penting, menurut Tarlen, adalah bagaimana memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang pentingnya ruang publik, baru kegiatan seperti yarn bombing bisa berhasil di Indonesia.
Tapi saat ini, dengan meningkatnya kegiatan merajut bagi kalangan anak-anak muda di kota-kota Indonesia seperti Bandung dan Makassar, merajut bukan hanya jadi kegiatan bagi perempuan tua.
Dan, menurut Tarlen, kegiatan merajut terbukti berguna untuk membantu korban bencana.
“Kalau kelas merajut di sini juga punya proyek kemanusiaan...beberapa tahun lalu, waktu Gunung Merapi meletus, kita bikin acara di Bandung ‘Merajut Untuk Kemanusiaan’,” katanya, di mana Tobucil membantu menyediakan benang dan alat.
“Kita mengundang siapa pun yang bisa merajut untuk meluangkan waktunya merajut bersama. Hasilnya kita berikan kepada korban bencana alam.”
Viewing all 26 articles
Browse latest View live